Bagian yang paling mengocok perut adalah bab 'Bakar Saja Keteknya'. Terlalu banyak hal konyol dalam buku itu. Mari kita bahas perenungan saya akan buku itu.
Jadi, seperti yang kita ketahui (atau yang akan Anda ketahui, bila Anda tidak tahu), salmon adalah binatang yang berpindah setiap tahun untuk bertelur. Dan mereka tidak kenal takut. Mati dalam perjalanan? Bagi mereka, why not? Hebat ya. Si salmon berjuang buat orang(dalam hal ini, binatang) lain tanpa memikirkan keselamatannya sendiri. Salut! Tapi ya, memang itulah takdir si salmon.
Nah, dalam buku ini, Bang Dika membahas perpindahan-perpindahan dalam hidupnya. Pindah rumah, sampai pindah hati.
Nah, kalo bagi si salmon pindah adalah sebuah takdir, bagi kita, pindah adalah sebuah pilihan.Dan kita harus bisa memilih pilihan yang terbaik, tentu saja. Wah, jadi inget lagu The Man Who Can't Be Moved-nya The Script yang diperdebatkan Inggrith dan Marinie, kedua kolega SMA saya di dalam perjalanan ke Bali silam.
Sampai sekarang masih menjadi sebuah perdebatan sebenarnya, antara apakah move on adalah sebuah keharusan atau pilihan. Ya, sebetulnya 'pindah' juga masih menggantung di antara keharusan atau pilihan. Tapi bagi saya, itu pilihan. Soalnya, tidak berpindah bukanlah dosa. Sesuatu yang bukan dosa berarti tidak apa-apa bila dilakukan. Ya kan? (dan sebetulnya tidak move on juga rasanya tidak dosa, hanya kebodohan saja. Kebodohan seharusnya tidak dipelihara--hmm, mungkin move on beda sama pindah-pindah lainnya)
Setelah membaca MSS, saya mendapat sebuah quote, sebetulnya sudah lama muter-muter di otak;
Hati itu hampir sama kayak rumah. Ada yang mengisi di dalamnya, dan… kadang-kadang, pindah.Nah, begitulah. Pindah rumah ataupun tidak pindah rumah bukanlah dosa (yaiyalah), dan pindah hati ataupun tidak pindah hati juga bukanlah dosa. Itu pilihan, tergantung kamu mau memilih yang mana. Sekian.
keren (ngasih jempol)
ReplyDeletethankyou Johan!
ReplyDelete